Jumat, 09 Mei 2014
Dinasti Warmadewa di BAli
DINASTI
WARMADEWA DI BALI
Diusulkan oleh:
1. Made Happy Sugih Artini
2. Gusti Ayu Mirah Utami
3. Ni Wayan Semeina Wati
SMA (SLUA) SARASWATI 1
DENPASAR
2010
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu
sejarah sangat banyak kita temui, apalagi saat ini dengan kemajuan teknologi di
internet kita dapat mengetahui berbagai hal tentang ilmu sejarah. Sejarah bukan
saja dapat memberikan dorongan solidaritas tetapi lebih jauh dari pada itu,
juga dapat menumbuhkan kekompakan dan semangat juang yang meningkat dalam
mensukseskan pembangunan dengan rasa nasionalisme dijiwai generasi muda
khususnya mengukuhkan kehidupan Kebudayaan Bali.
Sejarah
pada hakikatnya memaparkan suatu kisah, yang memberikan citra kepada pembaca
atau pelajar tentang kehidupan dan perkembangan suatu bangsa di masa lampau.
Sejarah Bali melukiskan kisah kehidupan dan perkembangan masyarakat Bali, yang
merupakan bagian terpadu dari Sejarah Nasional Indonesia. Kehidupan masyarakat Bali
Dewasa ini yang termasyur karena hasil-hasil kebudayaannya, sesungguhnya adalah
suatu hasil perkembangan sejarahnya sendiri sejak dahulu kala.
Sejarah
patut di pelajari untuk membentuk dan mengisi kepribadian bangsa serta untuk
memahami masa lampau sebagai landasan perilaku kita masa kini dan menetapkan
arah kemasa depan di atas kepribadian sendiri. Masa lampau, masa kini dan masa
depan masyarakat kita adalah suatu rangkaian peristiwa sejarah yang tidak dapat
dipisah-pisahkan.
1.2 Rumusan Masalah
v Bagaiman sistem pemerintahan Dinasti Warmadewa ?
v Agama dan
Kepercayaan apa yang dianut oleh Dinasti Warmadewa ?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan Penulisan
v Untuk mengetahui Dinasti Warmadewa di Bali,agar generasi muda bisa lebih
memahami nilai keluhuran kehidupan nenek moyang khususnya Dinasti Warmadewa
v Untuk mendapatkan pengetahuan sejarah yang lebih mendekati kebenaran
sehingga generasi muda bisa memahami nilai-nilai luhur nenek moyang, sehingga
kehidupan bangsa semakin kuat dan kukuh.
1.3.2
Manfaat Penulisan
v Sebagai penanaman rasa cinta Tanah Air dan Bangsa serta menumbuhkan
kehidupan kebudayaan bangsa kita yang telah memiliki nilai luhur dan
tinggi,disamping itu juga agar kita bisa memperluas perbendaharaan peristiwa
sejarah khususnya pengetahuan Dinasti Warmadewa di Bali.
1.4 Ruang Lingkup Masalah
Karena keterbatasan data yang bisa dipakai untuk mengungkapkan
keberadaan Dinasti Warmadewa di Bali, sehingga makalah ini bisa mengungkapkan
berdasarkan benda arkiologi ( data-data sejarah ) yang dapat ditemukan.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Definisi Dinasti Warmadewa
Dinasti
(wangsa) Warmadewa adalah keluarga bangsawan yang
pernah berkuasa di Pulau Bali.
Pendiri Dinasti
ini adalah Sri Kesari Warmadewa,
menurut riwayat lisan turun-temurun, yang berkuasa sejak abad ke-10. Namanya
disebut-sebut dalam prasasti Blanjong di Sanur dan menjadikannya
sebagai Raja Bali pertama yang disebut dalam catatan tertulis. Menurut prasasti
ini, Sri Kesari adalah penganut Budha Mahayana yang ditugaskan dari Jawa untuk memerintah Bali.
Dinasti inilah yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa Kerajaan
Medang periode Jawa Timur pada abad ke-10 hingga ke-11.
Salah
satu Dinasti kerajaan yang terbesar di Kepulauan Nusantara dan semenanjung Asia
Tenggara adalah Dinasti Warman atau Warmadewa. Warmadewa berasal dari bahasa
Sansekerta secara umum berarti berarti Dewa Pelindung atau Dilindungi Dewa. Raja-Raja
dari Dinasti Warmadewa ini awalnya berasal dari India (kerajaan Pallawa) 3, muncul kemudian menyebar ke
Nusantara dan ke wilayah Asia Tenggara sejak abad ke-5 Masehi, mendirikan dan
menguasai banyak kerajaan, seperti Kaundhiya, pengikut ajaran Maharsi Agastya,
mendirikan Dinasti Warmadewa di Funan (Kamboja sekarang), kemudian kerabatnya
yang lainnya bernama Kudungga, pada periode yang sama mendirikan Dinasti Warmadewa
di Kerajaan Kutai atau Poli di Kalimantan Timur.
Kemudian
juga muncul kerajaan Chenla (Angkor)
di Kamboja dan kerajaan Champa (Lin-yi)
di Vietnam 2.
Demikian pula di Sumatra, timbul kerajaan Kuntala, Malayu (Suarnabhumi) dan
Sriwijaya, Raja-Raja mereka awalnya diyakini berasal dari India serta dengan
nama Rajakula Warmadewa pula. Selanjutnya di Jawa Barat, muncul kerajaan Salakanegara
dan Tarumanegara, dengan Raja berwangsa Warmadewa pula, di Jawa Tengah berdiri kerajaan
Kalingga (Keling atau Holing) dan Mataram, Raja-Raja awalnya berasal dari
India, dimana ada Raja berwangsa Warmadewa dan ada pula berwangsa Sanjaya .
Pada
saat berikutnya, kerajaan Sriwijaya berekspansi menguasai pantai utara Jawa dan
Bali, mendirikan wangsa Sailendra di Jawa Tengah dan kerajaan Singhadwara di Bali.
Jadi leluhur Raja-Raja Dinasti Warmadewa diyakini berasal dari India, sehingga
berdasarkan berita dari I-Tsing, pada
tahun 695 M, adat tradisi di semua negara tadi hampir serupa, karena mereka
menganut agama dan kebudayaan yang hampir sama berasal dari India. Mengapa
mereka yaitu kaum Shaka, Pallawa dan Yawana menyebar meninggalkan India? Ini
disebabkan pada awal tarikh masehi kaum Kushan (Mongol) menDesak mereka ke
India bagian selatan (wilayah
Tondaiman dalam,sebelah
barat Madeas), dimana para pewaris mereka mendirikan kerajaan Pallawa. Kemudian
pada abad ke-4, Samudra Gupta (335-375)
menaklukkan kerajaan Pallawa, yang mana penaklukkan ini menyebabkan banyak
vassal Raja Pallawa pergi meninggalkan India menuju Funan , Kutai, Sumatra dan
Jawa.
Sejak
itu, kawasan Asia Tenggara menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Warmadewa. Dinasti
Warmadewa dilihat dari asal usulnya merupakan campuran dari bangsa Yunani (Yawana), Persia (Pallawa) dan Shaka. Konon ,
berdasarkan Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang tahun 1612, Dinasti Warmadewa
merupakan keturunan dari Raja Makedonia-Yunani, Alexander Yang Agung (Iskandar Zulkarnaen) yang
pernah menguasai India pada abad IV SM. Kemudian diceritakan, ada keturunan
Beliau datang ke Sumatera dan menjadi cikal bakal Dinasti Warmadewa bermula di
Bukit Siguntang ,Palembang. Beliau adalah Paduka Sri Tri Bhuana yang menjadi
pangkal empat jurai Rajakula di Asia Tenggara, yaitu Palembang (Sriwijaya), Majapahit,
Semenanjung Malayu dan Minangkabau. Menarik juga untuk dicermati, kata
Alexander mempunyai arti pria yang melindungi atau pria yang dilindungi, makna
yang sama dengan kata Warmadewa.
Dalem
Sri Kesari pendiri Dinasti Warmadewa di Bali. Raja Dinasti Warmadewa pertama
di Bali adalah Dalem Sri Kesari Warmadewa [yang bermakna Yang Mulia Pelindung Kerajaan
Singha] 1 yang
dikenal juga dengan Dalem Selonding, datang ke Bali pada akhir abad ke-9 atau
awal abad ke-10, beliau berasal dari Sriwijaya (Sumatra) dimana sebelumnya pendahulu beliau dari Sriwijaya telah
menaklukkan Tarumanegara (tahun
686) dan Kerajaan Kalingga di pesisir utara Jawa Tengah/Semarang sekarang.
Persaingan dua kerajaan antara Mataram dengan Raja yang berwangsa Sanjaya dan kerajaan
Sriwijaya dengan Raja berwangsa Syailendra (Dinasti Warmadewa) terus berlanjut sampai ke Bali.
Di
Bali, Sri Ratu Ugrasena (915-942), Raja kerajaan Singhamandawa (pusat istana di
Sukawana, Penulisan, Bangli) yang berkaitan dengan kerajaan Kanuruhan dan
Mataram (Sanjayawangsa)
bersaing dengan Dalem Sri Kesari Warmadewa yang mulanya beristana di Bhumi
Kahuripan Singhadwara (dekat Pura Besakih sekarang) kemudian memindahkan
ibukota ke Pejeng. Di dalam Purana Bali Dwipa, diceritakan Dalem Sri Kesari Warmadewa
menaklukkan Raja Mayadanawa yang memerintah di Bali dimana pada masanya
melarang upacara Dewa Yajna di Pura Kahyangan seluruh Bali. Oleh Dalem Sri
Kesari, pura-pura yang rusak kemudian diperbaiki, setelah itu beliau mengadakan
upacara Yajna untuk memuja Tuhan dan menghormati para leluhur dilaksanakan pada
hari Budha Kliwon Dunggulan yang kelak disebut hari Galungan atau hari
kemenangan. Pulau Bali kemBali menjadi aman dan makmur serta wilayah kekuasaan
meliputi Makasar, Sumbawa, Sasak dan Blambangan.
Rupanya
persaingan ini dimenangkan oleh Dinasti Warmadewa, karena sejak tahun 942 tidak
ada lagi prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Ratu Ugrasena. Dalem Sri Kesari Warmadewa
menyatakan dirinya Raja Adhipati yang berarti dia merupakan penguasa di Bali
mewakili kekuasaan Sriwijaya. Kemungkinan beliau adalah keturunan dari
BalaputraDewa, hal ini berdasarkan kesamaan cara penulisan prasasti , kesamaan
dalam menganut agama Budha Mahayana dan kesamaan nama Dinasti Warmadewa.
Berdasarkan prasasti Blanjong di Singhadwara,Sanur, prasasti Panempahan di Tampaksiring
dan prasasti Malatgede yang ketiga-tiganya ditulis pada bagian paro bulan gelap
Phalguna 835 S atau bulan Februari 9135, beliau berhasil mengalahkan
musuh-musuhnya baik di luar pulau maupun di pedalaman Bali. Tapi kemenangan ini
mungkin tidak menyeluruh karena di pedalaman wilayah kraton Singhamandawa masih
berkuasa Sri Ratu Ugrasena hingga tahun 942.
Persaingan
antara dua Dinasti mungkin sekali berubah menjadi kerjasama, apakah melalui
perkawinan atau yang lain, karena setelah berakhirnya masa Sri Ratu Ugrasena,
yang menjadi Raja
di Bali adalah dari Dinasti Warmadewa yaitu keturunan Dalem Sri Kesari, Sang Ratu
Aji Tabanendra Warmadewa (955-967),
beliau juga bergelar Sri Candrabhaya SinghaWarmadewa atau Indra Jayasingha Warmadewa,
memerintah bersama istrinya Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Warmadewi, yang
mendirikan pemandian Tirta Empul Tampaksiring pada tahun 960. Semasa pemerintahannya
beliau memperkenankan pendeta Siwa mendirikan pertapaan di Air Madatu, tempat
dimakamnya Sang Ratu Ugrasena. Situasi seperti ini sangat mirip dengan situasi
di Jawa pada masa Kerajaan Mataram, dimana ada persaingan kekuasaan sekaligus
kerjasama antara dua Dinasti, Sanjaya dan Syailendra. Selanjutnya kekuasaan
digantikan oleh putra beliau, Sri Jana Sadhu Warmadewa.
Pada
masa beliau ini, konon Bali pada tahun 983 dikuasai oleh Ratu Sri Maha Raja
Sriwijaya Mahadewi yang diperkirakan berasal dari kerajaan Sriwijaya. Setelah itu berkuasa Sri Dharma
Udayana Warmadewa (989-1011).
Beliau lahir sekitar tahun 963. Sebelum menjadi Raja di Bali, beliau pergi ke
Jawa Timur, untuk mempersiapkan diri menjadi Raja dengan mendirikan pemandian
Jalatunda tahun 987 dan melakukan tapabrata di puncak Gunung Penanggungan. Pada
saat pemerintahan Sri Udayana adalah puncak kejayaan Dinasti Warmadewa di Bali,
beliau mempersunting putri dari Jawa Timur, Mahendradatta Gunaprya Dharmapatni,
putri dari Raja kerajaan Watu Galuh Sri Makuta Wangsa Wardhana. Saudara
Mahendradatta adalah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama TunggaDewa, yang
menggantikan ayahnya menjadi Raja Watu Galuh 3,6.
Pada
masa pemerintahan beliau berdua, Udayana dan Mahendradatta, datang ke Bali seorang
pendeta besar bernama Mpu Kuturan, kakak seperguruan dari Mpu Bharadah,
melakukan reformasi terhadap agama Hindu dengan menyatukan sembilan sekte di Bali
menjadi Tri Murti dan nama agama disepakati adalah Agama Siwa-Budha. Raja
Udayana memiliki 3 orang putra, yang pertama adalah Sri Airlangga,lahir tahun
1000 yang kelak menjadi Raja Kahuripan,yang kedua, Sri Wardhana Marakata Pangaja
TungaDewa (1011-1049),
menjadi Raja menggantikan ayahandanya, dan yang ketiga Sri Anak Wungsu, yang
naik tahta menggantikan kakaknya (1049-1079).
Setelah wafat, kekuasaan dipegang oleh Sri Maha Raja Sri Walaprabhu. Setelah
itu sejak tahun 1088, kekuasaan dijalankan oleh putri Sri Anak Wungsu yaitu Ratu
Sakalindhu Kirana (1088-1101),
dengan gelar Paduka Sri Maha Raja Sri Sakalindu Kirana Sana Guna Dharma Laksmi
Dhara Wijaya Utunggadewi atau Paduka Sri Maha Raja Gon Karunia Pwa Swabhawa
Paduka Sri Saksatnira Harimurti Jagatpalaka Nityasa., beliau merupakan Raja
putri yang pertama di Bali. Kemudian dari istri yang lain, dua putera yaitu,
Sri Suradhipa, menjadi Raja pada tahun 1101-1119, dilanjutkan oleh sang adik
yaitu Sri Jayasakti (1119-1150).
Sebelum
Sri Jayapangus berkuasa, yang menjadi Raja di Bali adalah Hari Prabhu. Hari
Prabhu yang juga dikenal dengan nama Ragajaya berkuasa selama 27 tahun. Sri
Jayapangus berkuasa mulai sekitar tahun 1177 sampai tahun 1181. Sri Jayapangus
digantikan oleh Sri Maha Raja Sri Arya Dingjaya Katana (1181-1200), kemudian
dilanjutkan oleh anaknya Sri Maha Raja Aji Ekalayalancana (1200-1204). Kemudian, yang
menjadi Raja adalah Batara Guru Aji Kunti Kontana, yang memiliki dua anak (kembar)
putra dan putri, yang putra bernama Sri DhanadiRaja Lancana dan yang putri
bernama Sri Dhanadewi Ketu, keduanya dinikahkan dan kelak dinobatkan menjadi Raja
dengan gelar Mahasora Mahasori atau Mahewara Maherswari atau Sri Masula-Masuli.
Selanjutnya yang menjadi Raja adalah Sri Hyang Ninghyang AdiDewa Lancana (1260-1286), kekuasaannya
berakhir setelah Bali ditaklukkan oleh kerajaan Singhasari dengan Rajanya bernama
Sri Kertanegara, yang kemudian menugaskan Patih Kebo Parud menjadi pelaksana
kekuasaan di Bali.
Setelah
kerajaan Singhasari dihancurkan oleh Jayakatwang, Raja Gelang-Gelang, Kediri, maka kekuasaan di Bali dipegang oleh Sri Mahaguru
Dharma Hutungga Warmadewa, kerajaannya disebut Bata Anyar, berkuasa hingga 1328
. Setelah itu, beliau digantikan putranya yaitu Sri Tarunajaya atau Sri
Walajaya Kertaningrat yang berkuasa hingga tahun 1337. Sesudah itu yang menjadi
penguasa di Bali adalah Sri Tapolung yang bergelar Sri Asta Asura Ratna Bhumi
Banten (1337-1343).
Beliau disebut juga Dalem Sri Bedahulu , adalah Raja Dinasti Warmadewa terakhir
yang berkuasa di Bali, karena sejak tahun 1343, Bali ditaklukkan oleh kerajaan
Majapahit, dimana prajurit Majapahit yang menyerang Bali berada di bawah
pimpinan Sang Adityawarman dan Gajah Mada.
Adapun Dinasti yang dimaksudkan diantaranya:
1.
Raja Sri Ugra Sena
2.
Raja Sri Kesari Warmadewa
3.
Raja Candrabhayasinga Warmadewa
4.
Raja Dharma Udayana Warmadewa
5.
Raja Marakata
6.
Raja Anak Wungsu
7.
Sri Maha Raja Seri Walaprabu
8.
Sri Maha Raja Sri
Sukalendukirana
9.
Sri Suradhipa
10. Sri Jayasakti
11. Raja Jayapangus
12. Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten
2.2 Nama Raja-Raja Dinasti Warmadewa
2.2.1 Ratu Sri Ugra Sena
Berdasarkan bukti 9 buah Prasasti yang
sudah ditemukan beliau memerintah pada tahun 915-942 masehi, sedangkan di Jawa
Timur yang memerintah adalah Raja Sindok tahun 929-947 Masehi.
2.2.2 Raja Sri Kesari Warmadewa
Setelah Raja Sri
Kesari Warmadewa berpusat Singhamandawa diketahui di Bali memerintah Raja Kula Warmadewa.
Di dalan kitab kuna yang bernama Raja Purana tersebut seorang Raja di Bali yang
bernama Sri Wira Dalem Kesari. Dikatakan beliau mendirikan istana disekitar
Pura Besakih. Baginda amat tekun beribadah memuja Dewa-Dewa yang berkhayangan
di Gunung Agung.Tempat pemujaan disebut pemujaan Selonding.Beliau memperluas
Pura Penataran Agung di Besakih yang ketika itu masih sangat sederhana, untuk
memperlengkapinya maka didirikanlah beberapa buah Pura di sekitar Pura
Panataran Agung, dengan diberi nama masing-masing , sebagai berikut:
1.
Pura Gelap untuk memuja Dewa
Iswara.
2.
Pura Kiduling Kreteg untuk
memuja Dewa Brahma.
3.
Pura Ulun Kulkul untuk memuja Dewa
MahaDewa.
4.
Pura Batu Madeg untuk memuja
Wisnu.
5.
Pura Dalem Puri untuk memuja
Dewi Durga.
6.
Pura Basukian untuk memuja Naga
Basukian.
Selanjutnya
dikatakan beliau juga memerintahkan agar perayaan Nyepi tiap-tiap tahun harus dilakukan pada bulan kasanga yang
disebut caitra-masa. Sehubungan dengan uraian diatas yang bersifat tradisional,
ditemukanlah di Pura Blanjong yang terletak diDesa Sanur Kabupaten Badung
sebuah prasasti yang lajim disebut Prasasti Blanjong yang berasal dari dua buah
kata yakni belahan dan jong atau jung. Belah berarti pecah dan jong berarti
perahu. Prasati itu ditatahkan pada sebuah batu monolit, yang kedua belah sisinya terdapat tulisan-tulisan kuna,
sebagian mempergunakan bahasa Sansekerta. Tulisan itu menyebutka seorang Raja
yang bernama Kesari Warmadewa yang bersinggasana di Singhadwala, dalam
tulisan-tulisan itu bilangan tahun isaka dengan mempergunakan candrasangkala
(angka tahun dalam bentuk kalimat), yang berbunyi Khecara Wahni Murti. Khecara
berarti lima, Wahni berarti tiga dan Murti berarti delapan. Jadi candrasangkala
menunjukkan angka tahun Isaka 835 (913 Masehi).
2.2.3
Raja Candrabhayasinga Warmadewa
Mengenai Raja ini hanya ditemukan baru sebuah Prasasti
Batu, yang keadaannya sangat rusak. Prasasti itu disimpan di Pura Sakenan Desa
Manukaya sebelah utara Desa Tampaksiring berangka tahun 960 Masehi. Isinya
menyebutkan peristiwa pembuatan tirta di Air Hampul (Tirta Empul sekarang) di
Desa Manuk raya (sekarang Desa Manukaya). Sampai sekarang tirta itu dipandang
suci dan prasasti batu yang tersimpan di Pura Sakenan sewaktu-waktu disucikan
di Tirta Empul. Demikian juga pada hari raya Galungan banyak barong dari
Kabupaten Gianyar di sucikan di Tirta Empul.
2.2.4 Raja Dharma Udayana Warmadewa
Raja ini merupakan keturunan Raja Sri Kesari Warmadewa
yang dilahirkan di Bali sekitar tahun 963 Masehi, kemudian kawin dengan putri
Mahendradatta dari Jawa Timur sebagai cucu Raja Empu Sindok. Kedua Raja putrid
ini mulai menaiki tahta kerajaan kira-kira tahun 989-1001 Masehi.
Perkawina baginda putrid Gunapria Dharmapatni dengan
baginda Raja Dharma Udayana ternyata banyak membawa perubahan di Bali.
Perubahan itu terjadi dalam struktur pemerintahan kemudian berpengaruh pula di
bidang kebudayaan. Semenjak itu mulailah dipergunakan bahasa Jawa Kuno (bahasa
Kawi) dalam pembuatan-pembuatan prasasti
yang sebelumnya menggunakan bahasa Bali Kuna.
Dari perkawinan Dharma Udayana dengan Gunapria lahirlah
beberapa orang putra di antaranya Airlangga, Marakata dan Anak Wungsu.
Airlangga di lahirkan di pulau Bali pada tahun 922 Saka atau 1000 Masehi. Ia
kemudian pergi ke Jawa Timur untuk menikah dengan Putri Dharmawangsa yang
mungkin masih keponakan ibunya. Ketika Airlangga berumur kira-kira 16
tahun. Kerajaan Dharmawangsa yang
merayakan perkawinan putrinya denga
Airlangga, tiba-tiba diserang Raja Haji Wurawuri . seluruh keratin
musnah terbakar, sedangkan Dharmawangsa di bunuh. Airlangga melarikan diri dan
berdiam di hutan-hutan. Baru pada tahun 1041 ia dinobatkan menjadi Raja di Jawa
Timur. Ia berhasil menyatukan kerajaan Dharmawangsa pada tahun 1037 Masehi,
pada waktu itu ia juga membuat sebuah wihara di Pucangan. Pada tahun 1042
Airlangga mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan menjadi pertapa, sampai ia
mangkat pada tahun 1049. Agar anak-anaknya tidak saling berebutan kekuasaan,
Airlangga mengirim Empu Bharadah ke Bali untuk meminta daerah itu untuk
diberikan salah seorang putranya.Akan tetapi permintaan itu ditolak oleh Empu
Kuturan, yang rupa- rupanya sudah mempunyai calon untuk menempati tahta kerajaan
Bali.
Setelah mangkat Gunapriya dicandikan di Pura Bukit
Dharma Kutri Desa Buruan Balu dalam wujud yang menggambarkan arca
Durgamahisasuramardini. Sedangkan Raja Udayana
setelah wafat dicandikani
Banu-wka. Di mana letak Banu-wka ini, hingga kini belum diketahui dengan jelas.
Tetapi menurut Dr. R. Goris terletak di Candi Gunung Kawi yang terdapat di Desa
Tampak Siring.
Anggota penasehat Raja suami istri di antara sekian
banyaknya tersebutlah senapati Kuturan, namanya sering di sebut dalam prasasti
yang masih disimpan di beberapa Desa di Bali. Baginda suami istri sengaja
mengundang senapati Kuturan untuk menertibkan kemasyarakatan penduduk di Bali,
tambahan pula pada waktu itu sudah tiba saatnya bagi senapati untuk menjalankan
bhiksuka atau saniyasa, yakni hidup mengembara guna mengamalkan dharma selaku guru
agama.
Untuk menerbitkan dan menegakkan sendi-sendi
agama/kemasyarakatan di Bali, senapati segera mengadakan pertemuan besar dihadiri oleh para pemuka masyarakat
serta pendeta Siwa dan Budha. Dalam pertemuan itu di putuskan bahwa paham Tri
Murti harus di tegakkan kemBali.
Maka sejak itu terciptalah pura Kahyangan Tiga, yakni
tiga buah pura yang masing-masing disebut :
a.
Pura Desa, yang disebut juga
pura Balai Agung untuk memuja kebesaran Dewa Brahma sebagai pencipta.
b.
Pura Puseh, untuk memuja Dewa Wisnu
sebagai pemelihara.
c.
Pura Dalem untuk memuja Dewi
Durga sakti Dewa Siwa sebagai pemralina.
Pura
Khayangan tiga tersebut didirikan pada tiap-tiap Desa di Bali, inilah yang
menjadi dasar kekuatan Desa Pakraman di Bali yang berintikan pada adat istiadat
dan agama.
Disamping mengatur bidang keagamaan Empu Kuturan juga banyak mengarang
kitab-kitab suci diantaranya beberapa yang terkenal seperti : Purana Tattwa, Desa
Tattwa memuat pelajaran bagaimana cara memuja Dewa-Dewa.Juga kitab suci Kusuma Dewa
yang mula-mula dikarang oleh Sang Kul Putih , kemudian disempurnakan lagi oleh
Empu Kuturan.
2.2.5
Raja Marakata
Setelah Raja
Dharma Udayana wafat beliau digantikan oleh putranya Marakata saudara
muda dari Airlangga. Dalam prasasti nama lengkapnya adalah Darmawangsawardhana
Marakata Pangkajasthana UttunggaDewa. Raja oleh rakyatnya dipandang sebagai
sumber kebenaran hukum yang selalu melindungi nasip rakyatnya. Ia selalu
memperhatikan rakyatnya dimana-mana.
2.2.6
Raja Anak Wungsu
Raja ini menggantikan Raja Marakata dan merupakan putra
bungsu dari Raja Dharma Udayana. Di antara Raja-Raja Bali kuna, anak wungsu
boleh dikatakan Raja yang paling aktif atau mengabadikan peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi pada zamannya. Tidak kurang dari 28 buah prasasti dari Raja
Anak Wungsu berhasil ditemukan, ditambah lagi dengan beberapa prasasti singkat
lainnya yang terdapat di Gunung Kawi, Gunung Penulisan. Ia memerintah dari
tahun 1049 Masehi sampai 1077 Masehi. Didalam prasasti ia disebut sebagai
seorang Raja yang penuh belas kasihan dan dianggap sebagai penjelma Dewa
Kebaikan.
Anak wungsu memerintah selama 28 tahun, masa pemerintahan cukup lama bila dibandingkan
dengan Raja-Raja Bali Kuna lainnya. Hal ini dapat terjadi bila keadaan agama
aman tentram. Prasasti dari Raja ini terbesar di daerah Bali Selatan, Tengah
dan Utara. Setelah Raja wafat di candikan di candi Gunung Kawi Desa Tampaksiring.
2.2.7 Sri Maha Raja Sri Walaprabu
Raja ini memerintah setelah pemerintahan Raja Anak
Wungsu. Meninggal tiga buah prasasti yang sampai kepada kita, dan tidak satupun
prasasti itu berangka tahun. Menurut Damais prasasti itu di duga berasal dari
antara tahun 1001 Saka sampai dengan 1010 Saka.
2.2.8
Sri Maha Raja Sri
Sukalendukirana
Dari Raja ini kita hanya memperoleh dua buah prasasti,
yang sebuah berangka tahun 102 S , sedangkan yang lain berangka tahun 1023 S.
2.2.9 Sri Suradhipa
Ia memerintah dari tahun 1037 S, sampai 1041 S.
2.2.10 Sri Jayasakti
Raja ini meninggalkan prasasti sebanyak 15
buah. Prasasti yang ke 14 dan 15 ditemukan di Desa Asahduren dan Banjar
Gambang. Pada waktu Raja Jayasakti memerintah di Bali yang memerintah di Jawa
pada waktu itu adalah Raja Jayabhaya. Sejak zaman Raja ini mulailah di Bali
memerintah beberapa orang Raja yang menggunakan unsur nama Jaya (kemenangan)
seperti halnya Raja Jayabhaya di Kediri. Raja Jayasakti memerintah kurang lebih
1133 M sampai 1150 M.
2.2.11
Raja Jayapangus
Jumlah prasasti yang sudah ditemukan atas nama Raja ini sebanyak 39
buah. Tetapi yang mengherankan bahwa hampir semua prasastinya dikeluarkan pada
tahun yang sama yaitu 1181 Masehi, satu-satunya yang berbeda adalah prasasti
yang sekarang tersimpan di Desa Mantri (Gianyar)
( Manting A ) dan berangka
tahun 1177 Masehi.
2.2.12
Raja Sri Astasura Ratna
Bhumi Banten
Pada tahun 1337 Masehi dinobatkan Seorang Raja di Bali yang bergelar
Astasura Ratna Bhumi Banten, Perkataan Bhumi Banten menunjukkan daerah dimana
beliau memerintah sedangkan Banten diduga sama dengan Bali. Jadi di pulau Balilah
Raja Astasura Bhumi ini bertahta. Sebuah arca yang terdapat di pura Tegeh
Koripan di Gunung Penulisan adalah melambangkan Raja Astasura ketika berkuasa
di Bali. Arca batu padas itu pada bagian punggungnya memuat goresan yang
berbunyi: Mata, kapak, segara atau gunung yang merupakan tahun candrasangkala
Isaka 1254 (tahun 1332 Masehi),merupakan Raja Bali Kuna yang terakhir.
Sehubungan dengan Raja Astasura ini selanjutnya kitab Kuna yang
bernama “Usana Jawa” menerangkan bahwa Raja Astasura juga bergelar Gajah Waktra
atau Sri Tapolung serta beristana di Bedahulu. Adapun kisahnya lebih jauh
disebutkan bahwa Baginda mempunyai dua orang patih yang ulung masing-masing
bernama Pasung Grigis dan Kebo Iwa. Pasung Grigis bertempat tinggal di Desa
Tangkulak. Terkenal keperwiraannya berperang, mahir didalam siasat pertempuaran
disamping ahli dalam soal pemerintahan. Sedangkan Kebo Iwa bertempat tinggal di
Desa Blahbatuh dan mahir dalam bidang seni bangunan dan rakyat kagum atas
kekuatannya sebab itu Ia disebut juga Kebo Taruna (Taruna berarti membujang).
BAB III
METODELOGI PENULISAN
3.1 Jenis dan Sumber
Data
3.1.1. Jenis Data
a. Data Kualitatif
Data yang diambil dari sumber internet dan buku sejarah yang berbentuk data huruf atau abjad.
3.1.2. Sumber Data
a. Data Primer
Data yang diperoleh dari sumber internet dan buku sejarah.
b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari bimbingan guru sejarah., internet dan buku
sejarah.
3.2 Teknik Pengumpulan
Data
3.2.1. Interview
Data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara dengan narasumber
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tema.
3.2.2. Kepustakaan
Data-data yang diperoleh dari sumber internet yang berkaitan dengan
tema makalah.
BAB
IV
HASIL
PEMBAHASAN
4.1
Sistem Pemerintahan Dinasti Warmadewa
Untuk mengetahui susunan pemerintah pada masa lampau di Bali kita
mengalami banyak kesulitan karena tidak semua Raja yang pernah memerintah di Bali
meninggalkan keterangan – keterangan yang dapat dipakai untuk menyusun susunan
pemerintahan pada masa itu. Diantara Raja – Raja Bali yang banyak meninggalkan
keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan
pada masa itu yaitu Raja Udayana, Jaya Pangus, Jaya Sakti, dan Anak Wungsu.
Dalam
mengendalikan pemerintahan Raja dibantu oleh suatu Badan Penasehat Pusat. Dalam
prasasti tertua 882 Masehi – 914 Masehi badan ini disebut dengan istilah
“panglapuan”. Sejak masa pemerintahan Udayana Badan Penasihat Pusat itu di
sebut dengan istilah “pikiran-pikiran I jro makabaihan”. Badan ini
beranggotakan :
a. Beberapa orang senapati, menurut
Dr. Goris para senapati pada masa lampau dapat dibandingkan dengan para
punggawa pada zaman Kerajaan Gelgel. Jumlah senapati biasanya 3 orang.
b. Pendeta
Siwa dan Budha.
Golongan ini mempunyai arti sangat
penting didalam penyelesaian upacara-upacara agama, tetapi mereka itu dianggap
juga mempunyai Raja. Sampai sekarang di Bali masih dikenal pendeta istana yang
disebut bagawanta. Didalam prasasti-prasasti golongan pendeta agama Siwa
disebut dengan gelar Dang Acarya, golongan pendeta agama Budha dengan gelar
Dang Upadhyaya.
.
4 .2 Agama dan Keperjayaan Yang Dianut
Dalam
bidang agama pengaruh zaman prasejarah terutama dari zaman megalitikum (zaman
batu besar) masih terasa kuat kepercayaan pada zaman itu dititik beratkan
kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan
pemujaan yang disebut Teras Piramid atau bangunan berundang-undang.
Kadang-kadang diatas bangunan teras piramid ditempatkan menhir yaitu tiang batu
monolit sebagai symbol roh nenek moyang merek.
Pada
zaman Hindu hal itu terlihat pada bangunan Pura yang mirip dengan bangunan
pundan berundak-undak. Kepercayaan kepada Dewa-Dewa gunung, laut, dan
lain-lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya agama hindu, tetap
tercemin didalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu.
Bahkan sampai sekarang benda – benda dari zaman budaya megalitikum masih
disimpan dan dipuja bersama – sama dengan patung – patung agama Siwa dan Budha.
Keadaan ini membuktikan bahwa masyarakat Bali sekarang tidak mudah melepaskan
hasil – hasil budaya dari zaman sebelum hindu. Kedua unsure budaya ini berpadu
dengan sangat harmonis. Hanya kadang – kadang Dewa tertentu berubah namanya
dengan nama baru yang diambil dari bahasa Sansekerta seperti bathara da-tonta
(bathara, berasal dari bahasa sansekerta).
Pada masa
permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sriwijaya Mahadewi, tidak diketahui
dengan pasti agama apa yang dianut pada masa itu. Hanya dari nama – nama biksu
yang memakai unsur nama siwa sebagai contoh biksu piwakangsita, siwa, biksu
siwanirmala dan biksu siwaprajna, siwarudra dan lain – lain. Berdasarkan hal
ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa.
Baru pada
masa pemerintahan Raja udayana dan permaisurinya gunapria ada dua aliran agama
besar yang dipeluk oleh penduduk ialah agama siwa dan agama Budha. Keterangan
ini diperoleh dari prasasti – prasastinya, dimana disebutkan adanya mpungku
Sewasogata (siwa-Budha) sebagai pembantu Raja.
Dalam
kenyataan nya jumlah para pendeta agama siwa lebih banyak bila dibandingkan
dengan para pendeta agama Budha. Hal ini mungkin dapat disimpulkan bahwa agama
siwa lebih besar pengaruhnya dan penganutnya daripada agama Budha.
Meskipun
sebagian besar penduduk pada masa itu menganut agama siwa dan Budha, tetapi
sekte – sekte kecil yang menyembah Dewa – Dewa tertentu pasti ada juga seperti
misalnya Sekte Ganapatya (penyembah Gana), Sora (penyembah Surya) dan
sebagainya. Perkiraan ini berdasarkan kenyataan bahwa banyak sekali arca
ganesha yang ditemukan di Bali antara lain digunung penulisan, pura penataran
sasih pejeng, pura pusering jagat dan lain – lain. Selanjutnya pemujaan kepada
surya (Suryasewana) secara singkat dapat dikatakan bahwa tersebut masih
tercermin hingga sekarang diBali berupa kebaktian kepada siwaditya oleh
golongan brahmana – siddhanta.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari rumusan masalah diatas kami menarik kesimpulan bahwa
sejarah yang menceritakan tentang Dinasti Warmadewa perlu di pelajari oleh
generasi muda untuk mengingat leluhur kita pada saat masa Dinasti Warmadewa,
sehingga arah kehidupan bangsa menjadi kukuh dan kuat. Selain itu sejarah patut
dipelajari untuk membentuk dan mengisi kepribadian bangsa serta untuk memahami
masa lampau sebagai landasan perilaku kita masa kini dan menetapkan arah ke masa depan diatas kepribadian
sendiri.
5.2 Saran
Sebaiknya kita sebagai generasi muda perlu
mengetahui dan mempelajari sejarah-sejarah yang ada, agar kita dapat
mempertahankan budaya dan mengingat leluhur kita dan untuk menanamkan rasa cinta kepada perjuangan
bangsa dalam rangka memberikan dasar bagi pembentukan Kepribadian Bangsa.

Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Katalog Online Oriflame
Katalog Online Oriflame
Do As Infnity - Fukai Mori (Instrumental)
Translate
Label
Blog Archive
About Me
- Unknown
0 komentar:
Posting Komentar